- dan Abu Thalib. Padahal, selama ini dua orang tersebut telah berperan besar bagi dakwah Islamiyah.1. Ummul Mukminin Khadijah -
- Wanita dan bahkan manusia pertama yang beriman kepada Rasulullah SAW.
- Seorang mukmin yang mengorbankan seluruh hartanya untuk dakwah, dan
- Seorang istri, yang darinya Rasulullah SAW mempunyai anak (keturunan).
2. Abu Thalib, meskipun belum beriman, namun, mengingat posisinya sebagai paman Rasulullah SAW, ia telah membela Rasulullah SAW dengan sangat luar biasa.
Namun, di tahun itu, keduanya meninggal dunia, maka beliau SAW sangat bersedih, dan karenanya, tahun itu disebut ‘amul huzni (tahun kesedihan). Kesedihan itu semakin lengkap, manakala Rasulullah SAW mencoba membuka jalur dakwah baru, Thaif. Siapa tahu, Thaif yang sejuk, dingin, hijau, mempunyai pengaruh besar terhadap warganya, sehingga sikap mereka barangkali sejuk dan segar dalam menerima dakwah beliau SAW. Tidak seperti Mekah (saat itu) yang keras, semuanya tertutup batu, sehingga “membatu” sikap mereka terhadap dakwah. Namun, bukannya kedatangan Rasulullah SAW di Thaif disambut, tapi malah disambit.
Singkat cerita, dalam perjalanan pulang ke Mekah, terjadi tiga peristiwa:
1. Rasulullah SAW bertemu dengan seorang bernama Adas, dari Nainuwa, kampung halaman nabi Yunus AS. Dalam pertemuan itu, Adas menyatakan masuk Islam. Hal ini seakan mengatakan kepada Rasulullah SAW: “Jangan bersedih wahai Muhammad, kalau orang Mekah, orang Arab tidak mau beriman, jangan bersedih, nih buktinya, orang Nainuwa mau beriman”.
2. Rasulullah SAW bertemu dengan sekelompok jin, dan saat dibacakan Al-Qur’an kepada mereka, mereka menyatakan beriman. Hal ini seakan memberi message kepada Rasulullah SAW: “Seandainya pun seluruh manusia tidak mau beriman, engkau pun tidak peru bersedih wahai Muhammad SAW, sebab, bangsa jin telah membuktikan bahwa mereka siap beriman kepadamu”.
3. Peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Hal ini seakan berkata kepada Rasulullah SAW: “Bahkan, seandainya pun seluruh penghuni bumi, baik manusia maupun jin, tidak mau beriman kepadamu wahai Muhammad, engkau pun tidak perlu bersedih, sebab, buktinya, masyarakat langit semuanya gegap gempita menyambut kedatanganmu”.
Dari sudut pandang ini, peristiwa Isra’ dan Mi’raj merupakan tasliyah (pelipur lara) yang sangat luar biasa bagi Rasulullah SAW.
Lalu apa pelipur lara kita?
Mestinya adalah shalat, sebab oleh-oleh Isra’ dan Mi’raj utamanya adalah shalat, dan Rasulullah SAW menjadikan shalat sebagai qurratu ‘ain dan sekaligus rahah (rehat). Wallahu a’lam.
Rambu-Rambu Kehidupan Bermasyarakat
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari shahabat Nu’man bin Basyir radhiallahu anhuma, Rasulullah saw bersabda,
مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالْوَاقِعِ فِيهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ ، فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا ، فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنْ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ ، فَقَالُوا: لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا ، فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا ، وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا
“Perumpamaan orang yang teguh menjalankan ajaran Allah dan tidak melanggar ajaran-ajaran-Nya dengan orang yang terjerumus dalam perbuatan melanggar ajaran Allah, adalah bagaikan satu kaum yang melakukan undian dalam kapal laut. Sebagian mendapat jatah di atas dan sebagian lagi mendapat jatah di bawah. Penumpang yang berada di bawah, jika mereka hendak mengambil air, mereka harus melewati penumpang yang berada di atas. Lalu mereka berkata, “Seandainya kita lobangi saja kapal ini, maka kita dapat mengambil air tanpa mengganggu penumpang di atas. Jika perbuatan mereka itu mereka biarkan, maka semuanya akan binasa. Namun jika mereka mencegahnya, maka semuanya akan selamat.” (Shahih Bukhari, no. 2493)
Sebagai makhluk sosial, hidup bermasyarakat adalah perkara yang tidak dapat kita hindari dalam kehidupan ini. Tentu dengan segala konsekwensi yang terdapat di dalamnya.; Adanya berbagai problem dalam kehidupan bermaysrakat bukan merupakan alasan bagi seseorang untuk menghindar, lalu menarik diri untuk bergaul di tengah masyrakatnya. Selain hal tersebut dapat dikatagorikan sebagai tindakan yang mengabaikan kebutuhan fitrah manusia, sifat tersebut juga boleh dikatakan sebagai bentuk lari dari tanggung jawab.
Islam mengajarkan umatnya untuk hidup membaur di tengah msyarakatnya dan sabar menghadapi berbagai konseksenwensi yang harus ditanggungnya.
Rasulullalh saw bersabda,
الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ ، وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ ، أَفْضَلُ مِنَ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لا يُخَالِطُ النَّاسَ ، وَلا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ
“Seorang mu’min yang bergaul di tengah masyarakatnya dan sabar terhadap gangguan mereka, lebih baik dari mu’min yang tidak berbaur dengan masyarakat dan tidak sabar terhadap gangguan mereka.” (HR. Ahmad dan Bihaqi. Dinyatakan shahih oleh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 939)
Karenanya ajaran Islam telah banyak membekali kita dengan seperangkat ajaran tentang bagaimana kita menempatkan diri dengan tepat di tengah masyarakt.
Salah satu hadits yang memberikan pelajaran penting tentang hal tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari di atas.
Baik tersurat maupun tersirat, hadits di atas memberikan pelajaran yang sangat berarti kepada kita sebagai bekal untuk memahami posisi dan apa yang seharusnya kita sikapi terhadap persoalan kemasyarakatan. Di antaranya;
1. Hidup ini bagaikan mengarungi samudera bersama-sama dalam perahu besar.
Maka setiap kita memiliki andil dalam menjaga keselamatan bersama. Kebebasan individu hendaknya terbingkai dengan kemaslahatan umum. Karena itu, dalam Islam, kualitas pribadi seseorang sering dikaitkan dengan kualitas sosialnya. Misalnya dalam sebuah hadits yang cukup terkenal Rasulullah saw mengaitkan kualitas keimanan seseorang kepada Allah Ta’ala dengan kebaikan ucapannya, serta kebaikan terhadap tamu dan tetangganya (Muttafaf alaih).
Hal ini pada gilirannya menuntut kita untuk selalu berupaya menjadi unsur positif dalam kehidupan masayarakat setelah kebaikan indvidu. Istilahnya adalah kesalehan pribadi dan kesalehan sosial.
2. Kebaikan dan Keburukan selalu ada di tengah masyarakat
Selama masyarakat itu terdiri dari manusia, maka kedua hal tersebut merupakan sunnatullah dalam kehiduan ini, kapan saja dan dimana saja. Bahkan pada masa generasi terbaik sekalipun.
Khusus mengenai keburukan, saking kuatnya Allah hendak menegaskan perkara ini, Rasulullah saw menyatakan bahwa jika di suatu kaum tidak ada yang berbuat dosa, Allah akan mengganti mereka dengan kaum lain yang berbuat dosa. Agar tampak salah satu keagungan Allah Ta’ala sebagai Maha Pengampun.
وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَوْ لَمْ تُذْنِبُوا لَذَهَبَ اللَّهُ بِكُمْ وَلَجَاءَ بِقَوْمٍ يُذْنِبُونَ فَيَسْتَغْفِرُونَ اللَّهَ فَيَغْفِرُ لَهُمْ
“Demi yang jikwaku ada di tangan-Nya, seandainya kalian tidak ada yang berdosa, Allah akan gantikan kalian dengan kaum yang berdosa, lalu mereka bersitghar kepada Allah kemudian Allah mengampuni mereka.” (HR. Muslim, Shahih Muslim, no. 7141)
Namun tentu saja penyikapannya harus berbeda. Kebaikan selain merupakan sunnatullah, dia pun merupakan sesuatu yang di sukai-Nya. Berbeda dengan keburukan, meskipun dia merupakan sunnatullah, namun dia tidak disukai-Nya. Karena itu kita harus selalu berusaha berada di pihak kebaikan dan menjadikannya sebagai perkara yang dominan di tengah msyarakat.
Sedangkan keburukan, jika hal tersebut ada pada orang lain, dia adalah kesempatan bagi kita untuk berbuat baik dengan mengajaknya pada jalan kebaikan. Adapun jika dia ada pada diri kita, itu adalah kesempatan bagi kita untuk bertaubat dan mohon ampunan kepada Allah. Betapa Allah Ta’ala sangat senang dengan hamba-Nya yang suka mengajak kebaikan dan bertaubat kepada-Nya.
Adanya keburukan di tengah masyarakat, sebesar apapun pengaruh-nya, jangan dijadikan sebagai justifikasi (pembenaran) atas keburukan tersebut.
3. Pentingnya membangun komunikasi yang sehat.
Para penumpang yang berada di geladak kapal tentu tidak hrus mengambil keputusan seperti itu, kalau mereka mampu mengkomunikasi-kannya dengan penumpang yang berada di atas. Begitu pula halnya jika penumpang yang di atas tanggap dan komunikiatif dengan kebutuhan dan keinginan penumpang yang di bawah.
Banyak sekali permasalahan yang muncul akibat tersumbatnya komunikasi. Mulai dari kesalahpahaman hingga pertikaian. Permasalah ini berlaku baik dalam ruang lingkup kecil seperti keluarga maupun ruang lingkup yang lebih besar seperti bermasyarakat dan bernegara. Komunikasi lebih dibutuhkan dalam hubungan lintas lapisan; Tua-muda, atasan–bawahan, pejabat-rakyat, kaya-miskin, antara suku, antara pemeluk agama, dll. Karena kalau dalam satu lapisan saja komunikasi yang tersumbat dapat mengakibatkan problem, apalagi jika berbeda lapisan.
Sebagai seorang muslim kita diajarkan untuk banyak berkomunikasi. Justeru inilah yang menjadi salah satu hikmah mengapa kita diciptakan berbeda-beda suku bangsa (Al-Hujurat: 13). Dari sini pula kita dapat memahani betapa Islam sangat menganjurkan kita untuk mengucapkan salam, bersiltarrahim bahkan berdialog kepada orang kafir. Sebaliknya, Islam mengecam tindakan memutus silturrahim sebagai wujud dari meniadakan komunikasi.
Maka, hendaknya kita suka mengkomunikasikan apa yang menjadi keinginan, perasaan, keyakinan dan sikap-sikap kita. Sebaliknya kita juga harus dapat menyerap keinginan, perasaan, keyakinan dan sikap-sikap pihak lain. Dari sana kita harapkan ada kesepahaman dan langkah bersama dalam menyikapi beberapa persoalan di tengah masyarakat.
Dalam Al-Quran dan sirah Rasululah saw, kita banyak mendapatkan bagaimana komunikasi tersebut dibangun sehingga lahir kesepahaman. Kita dapat membaca bagaimana komunikasi antara para nabi dengan umatnya ketika mereka mendakwahkan ajaran Allah Ta’ala. Bahkan di sana ada dialog antara Nabi Sulaiman dengan burung Hud-hud, Nabi Ibrahim dengan puteranya Ismail, juga antara Rasulullah dengan para shahabatnya, bahkan juga terhadap orang kafir yang memusuhinya.
4. Pelanggaran kecil dapat memicu bencana besar. Bencana besar selalu diawali dengan pelanggaran kecil.
Segala sesuatu biasanya bermula dari perkara kecil atau yang kita anggap kecil. Termasuk dalam masalah pelanggaran. Pelanggaran kecil jika kita biarkan terus menerus akan membesar. Hal ini Rasulullah saw tamsilkan dalam hadits riwayat Imam Ahmad, bagaikan orang yang mengumpulkan sebatang demi sebatang kayu bakar yang lama kelamaan dapat menjadi tungku api.
Karena itu beliau berpesan.
إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ
“Hendaknya kalian menghindari dosa-dosa sepele.” (HR. Ahmad. Dinyatakan shahih oleh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 3102)
Ibnu Qoyim memberikan kita resep untuk menghindar dari pelanggaran sejak kesempatan pertama benih pelanggran itu muncul, yaitu ketika masih berupa lintasan pikiran. Beliau berkata dalam kitabnya, Al-Fawaid, hal. 31.
دَافِعْ الْخَطْرَةَ ، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ صَارَتْ فِكْرَةً ، فَدَافِعْ الْفِكْرَةَ ، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ صَارَتْ شَهْوَةً ، فَحَارِبْهَا، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ صَارَتْ عَزِيْمَةً وَهِمَّةً ، فَإِنْ لَمْ تُدَافِعْهَا صَارَتْ فِعْلاً ، فَإِنْ لَمْ تَتَدَارَكْهُ بِضِدِّهِ صَارَ عَادَةً فَيَصْعُبُ عَلَيْكَ الاِنْتِقَالُ عَنْهَا
“Usirlah lintasan pikiran (buruk), sebab jika tidak engkau cegah, dia berubah menjadi pemikiran. Cegahlah pemikiran (buruk), jika tidak engkau halau, dia akan berubah menjadi syahwat. Perangilah (syahwat buruk), sebab jika hal itu tidak engkau lakukan, dia akan berubah menjadi tekad kuat (azimah) dan keinginan besar (himmah). Jika tidak juga engkau cegah, maka dia akan berubah menjadi sebuah perbuatan. Lalu jika engkau tidak lakukan langkah penangkalnya, dia akan menjadi kebiasaan. Dan ketika itu, sulit bagimu meninggalkannya.”
5. Solusi instan tidak akan menyelesaikan masalah.
Para penumpang kapal yang di bawah berpikir sederhana, jika mereka lobangi kapal, maka problem kekurangan air akan segera teratasi. Di sini sangat tampak betapa mencari silusi instan bagi sebuah problem tidak akan menyelesaikan masalah.
Sunnatullah dalam kehidupan manusia bahwa untuk meraih sesuatu harus melalui tahapan-tahapan dalam sebuah proses. Karena itu, dalam hal apa saja, apakah urusan dunia ataupun urusan agama, mengabaikan tahapan-tahapan yang seharusnya dilewati, secara umum akan mengakibatkan hilangnya keseimbangan terhadap ciptaan Allah. Perhatikanlah dampak buruk dari prilaku orang yang ingin sehat, pintar, kaya, populer, meraih jabatan, namun ditempuh dengan cara instan. Kalau dampaknya sebatas individu mungkin masih ringan, tapi jika dampaknya berpengaruh pada kehidupan bermasyarakat, maka problem-nya kian terasa berat.
Islam telah mengajarkan kita untuk tidak terjebak dalam solusi instan dengan memerintahkan bersabar, mengikuti tahapan-tahapannya, mencari sebab akibat yang dapat dipercaya, mecari solusi yang integral dalam sebuah sistem, serta meyakini bahwa akhir lebih baik dari permulaan. Penderitaan di awal namun di akhiri dengan kebahagiaan jelas lebih baik dari kesenangan di awal namun akhirnya menderita.
6. Pentingnya menjadi unsur perbaikan di tengah masyarakat
Rasulullah saw mengisyaratkan dalam hadits di atas, apabila tindakan penumpang di bawah yang ingin melobangi kapal tidak dicegah, maka bencana akan menimpa semua penumpang, sedangkan jika dicegah, maka semuanya akan selamat.
Siapapun kita, semuanya dituntut untuk memiliki andil dalam menjaga kehidupan bermasyarakat yang kondusif bagi nilai-nilai kebaikan. Salah satunya adalah dengan berperan menebar kebaikan dan pencegah kemunkaran.
Jadilah kita seperti orang disinyalir Rasulullah saw.
إِنَّ مِنْ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلْخَيْرِ مَغَالِيقَ لِلشَّرِّ ، وَإِنَّ مِنْ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلشَّرِّ مَغَالِيقَ لِلْخَيْرِ ، فَطُوبَى لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الْخَيْرِ عَلَى يَدَيْهِ ، وَوَيْلٌ لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الشَّرِّ عَلَى يَدَيْهِ
“Sesungguhnya ada orang yang menjadi kunci pembuka bagi kebaikan dan kunci penutup bagi keburukan. Namun ada juga yang menjuadi kunci pembuka bagi keburukan dan kunci penutup bagi kebaikan. Beruntunglah orang yang Allah jadikan kunci kebaikan ada di tangannya, dan celakalah orang yang Allah jadikan kunci keburukan ada di tangannya.” (HR. Ibnu Majah. Dinyatakan shahih oleh Al-Albany dalam Shahih Al-Jami, no. 3986)
Jika kita belum merasa mampu untuk mencegah kemungkaran dalam ruang lingkup yang lebih besar, cegahlah dalam ruang lingkup yang kita mampu. Di keluarga misalnya, tentu dengan adab-adab yang berlaku. Atau paling tidak, kita harus mempertegas sikap bahwa kita berada di pihak kebenaran. Sebab, hal itu besar peranannya dalam menambah bobot kebenaran untuk menghadapi kebatilan.
Fenomena ironis yang kerap terjadi di tengah masyarakat; Pelaku kebatilan dengan bangganya dan percaya diri mempertontonkan kebatilannyau. Bahkan jika ada yang menghujat, mereka siap dengan bantahan-bantahannya walau sekenanya, padahal jumlah merek sedikit. Sementara para pengusung kebaikan, sering malu-mal. Tidak tegas menyatakan sikapnya. Jangan menjadi silent majority (mayoritas diam) terhadap kebenaran. Sebenarnya jumlahnya banyak, namun tidak menyatakan sikapnya. Atau –meminjam istilah politik- menjadi floating mass (massa mengambang). Al-Quran menyebutkan dengan istilah muzabzabin..
مُّذَبْذَبِينَ بَيْنَ ذَلِكَ لاَ إِلَى هَؤُلاء وَلاَ إِلَى هَؤُلاء وَمَن يُضْلِلِ اللّهُ فَلَن تَجِدَ لَهُ سَبِيلاً (سورة النساء: 143)
“Mereka dalam keadaan ragu-ragu antra yang demikian (iman dan kafir); Tidak masuk pada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang kafir).” (QS. An-Nisa: 143)
Seharusnya kita meningkatkan kadar kebaikan kita dari sekedar saleh (orang baik) menjadi muslih (orang yang memperbaiki). Dari sekedar qaabilun lil islah (menerima perbaikan) menjadi anashir ishlah (unsure perbaikan) dari sekedar syakhsyiah Islamiyah (pribadi muslim) menjadi syakhsiah da’iyah (pribadi da’i).
20 Rambu Dalam Hidup Bermasyarakat
Islam sangat mendorong pemeluknya hidup bermasyarakat secara sehat. Islam mencela orang yang mengasingkan diri dari kehidupan sosial. Untuk itu, Islam memberi rambu-rambu agar seorang muslim bisa hidup berdampingan dalam masyarakatnya dengan sehat tanpa merugikan satu sama lain. Berikut ini 20 rambu tersebut.
1. Saling memberi nasihat
Saling menasihati adalah salah satu bentuk kesetiaan seorang muslim kepada saudara muslimnya yang lain. Nasihat juga adalah bukti kesempurnaan dan lengkapnya keshalihan seseorang dalam beragama.
Dari Tamim Ad-Daari r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya agama (ad-din) itu an-nashihah.” Kami bertanya, “Nasihat bagi siapakah, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, bagi Kitab-Nya, bagi Rasul-Nya, dan bagi para imam/ulama muslimin dan bagi orang-orang awam di antara kalian.” (Muslim no. 55)
Dari Jabir bin Abdullah r.a. yang berkata, aku membai’at Rasulullah saw. untuk (mau) mendengar dan menaati (Islam). Lalu beliau mengajariku, “(Lakukanlah) apa yang dapat kamu lakukan dan (hendaknya) kamu menasihati kepada setiap muslim.” (Bukhari no. 7204)
Jadi, saat turun bermasyarakat seorang muslim senantiasa menggunakan kesempatan itu untuk saling menasihati. Pertama, saling mengingatkan untuk menjaga keikhlasan hanya untuk Allah swt. semata. Kedua, saling menasihati untuk membenarkan dan menyakini bahwa Al-Qur’an itu benar dan diamalkan sebagai pedoman hidup. Ketiga, saling mengingatkan untuk mengakui kebenaran Muhammad sebagai Nabi dan Rasul-Nya, untuk taat pada setiap perintahnya, serta meneladani dan melanjutkan risalah dakwahnya.
Keempat, mengingatkan imam/ulama jika mereka menyimpang dan taat kepada mereka dalam kebenaran. Kelima, menasihati orang awam dalam bentuk membimbing mereka untuk memperoleh kemaslahatan.
2. Jauhi Perbuatan Zalim
Dalam sebuah hadits qudsi, Abu Dzar r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. berkata bahwa Allah swt. berfirman, “Hai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan perbuatan zalim atas diri-Ku dan Aku jadikan kezaliman it uharam di atanramu, maka janganlah kamu saling menzalimi.” (Muslim no. 2577)
Dari Jabir bin Abdullah r.a. bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Muslim (sejati) itu ialah yang dapat menyelamatkan muslim lain dari gangguan lidah dan tangannya.” (Muslim no. 41)
3. Berakhlak Mulia
Abdullah bin ‘Amr bin Ash r.a. berkata Rasulullah saw itu bukanlah seorang yang buruk perkataanya dan tidak berusaha untuk melakukan hal seperti itu. Bahkan Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya termasuk orang-orang pilihan di antaramu adalah yang paling bagus akhlaknya.” (Bukhari no. 3559 dan Muslim no. 2331)
Dari Abu Darda bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada sesuatu yang paling berat timbangannya bagi mukmin pada hari kiamat daripada akhlak yang bagus. Dan sesungguhnya Allah membenci orang yang buruk tutur katanya dan jorok (cabul).” (Abu Dawud no. 4799 dan Turmudzi no. 2003)
Dari Jabir bin Abdullah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kamu dan paling dekat kedudukannya denganku pada hari kiamat adalah yang paling bagus akhlaknya. Dan sesungguhnya yang paling aku benci di antara kamu dan paling jauh tempatnya dariku pada hari kiamat adalah orang yang banyak bicara tanpa manfaat, yang banyak bicara dibuat-buat, dan memenuhi mulutnya dengan segala macam perkataan (tak berbobot).” (Turmudzi no. 2018))
4. Saling membantu dalam kebaikan
Seorang muslim hendaknya suka membantu sesamanya. Ini perintah Rasulullah saw. seperti yang diriwayatkan Abdullah bin Umar, “Muslim itu saudara(nya) muslim. Ia tidak boleh menzaliminya dan tidak boleh menyerahkannya ke tangan musuh. Barangsiapa yang berkenan memenuhi hajat kebutuhan saudaranya, maka Allah pasti memenuhi hajatnya. Barangsiapa melepaskan suatu kesulitan muslim, maka Allah akan melepaskan darinya salah satu kesulitannya pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi (aib) muslim, maka Allah akan menutupi (aib)nya pada hari kiamat.” (Bukhari no. 2442 dan Muslim no. 2580)
Abu Hurairah juga meriyaratkan hadits yang mirip. Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang melepaskan suatu kesusahan seroang mukmin di antara berbagai kesusahan dunia, maka Allah akan melepaskan darinya salah satu di antara berbagai kesulitan pada hari kiamat. Barangsiapa yang memudahkan orang yang mendapatkan kesulitan, maka Allah akan memberikan kemudahan baginya di dunia dan akhirat. Dan barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Dan Allah itu akan selalu membantu hamba jika ia mau membantu saudaranya. Dan barangsiapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan untuk menuju surga. Tidak ada suatu kaum yang berkumpul di salah satu rumah Allah seraya membaca kitab Allah -Al-Qur’an-dan mereka mempelajari Al-Qur’an tersebut kecuali akan turun kepada mereka ketenangan dan mereka pun akan diliputi rahmat Allah serta mereka akan diliputi malaikan, bahkan Allah pun akan menyebut-nyebut mereka di hadapan makhluk lain di sisi-Nya. Serta, barangsiapa yang menangguhkan amal ibadahnya, maka tidak akan dipercepat keturunannya.” (Muslim no. 2699)
5. Suka berkorban dan memberi
Dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Tangan yang di atas itu ialah tangan yang memberi; sedangkan tangan yang di bawah ialah yang meminta-minta.” (Bukhari no. 1429 dan Muslim no. 1033)
Abdullah bin Umar juga mengabarkan bahwa Rasulullah saw. bersabda dalam khutbahnya, “Jauhilah olehmu sifat kikir. Sebab, orang-orang sebelum kamu itu hancur karena kikir. (Pemimpin mereka) memerintahkan mereka untuk kikir, lalu mereka pun kikir; ia memerintahkan untuk memutuskan hubungan (persaudaraan) lalu mereka pun memutuskan hubungan (persaudaraan); dan ia memerintahkannya untuk berbuat durhaka, mereka pun melakukan perbuatan durhaka,” (Abu Dawud no. 1698, Hakim no. 415, dan shahih al-jami’ no. 2675)
6. Mengatakan kebenaran
Seorang muslim selalu mengatakan hal yang benar. Meskipun perkataan itu akan pahit dirasakan karena mengenai dirinya sendiri atau berhadapan dengan penguasa. Abu Sa’id Al-Kudri r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. shalat bersama kami pada shalat ashar di siang hari. Lalu ia berdiri untuk berkhutbah. Tiada ia meninggalkan suatu berita tentang (dan untuk menuju) akhirat kecuali ia memberitahukannya kepada kami. Berita itu akan dihapal oleh orang yang menghapalkannya dan akan dilupakan oleh orang yang melupakannya. Dan di antara yang disabdakannya adalah, “Ingatlah, jangan sampai ada seorang pun terhalang oleh wibawa (kharisma) seseorang untuk mengatakan (dan memperjuangkan) yang hak jika ia mengetahuinya.” (Turmudzi no. 2191, Ibnu Majah no. 4007, Hakim no. 506, dan Silsilah Shahihah no. 168)
Zaid bin Abdullah bin Umar r.a. bercerita bahwa ada sejumlah orang yang berkata kepada Abdullah bin Umar, “Kita sungguh akan memasuki (menghadap) Sultan atau Amir kita. Maka kita (mesti) mengatakan kepada mereka apa yang berbeda dengan apa yang kita katakan jika kita keluar dari sisi mereka.” Lalu Abdullah bin Umar r.a. berkata, “Kami menganggap yang seperti itu di masa Rasulullah saw. sebagai kemunafikan.” (Bukhari no. 7178)
Semoga kita bisa selalu istiqomah untuk mengatakan hal yang benar kepada siapapun sehingga kita tidak tergolong orang yang memiliki sifat munafik.
7. Mengajak berbuat baik
Salah satu tujuan seorang muslim bergaul dengan masyarakat di sekitar dirinya adalah dalam rangka mengajak mereka untuk berbuat kebaikan. Dan ini adalah perintah Allah swt., “Hendaklah ada di antara kamu sekelompok orang yang mengajak kepada kebaikan dan melarang perbuatan munkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imrah: 110)
Dan mengajak orang melakukan kebaikan sungguh besar pahalanya. Rasululllah saw. bersabda –seperti yang diterima dari Abu Sa’id Al-Kudri–, “Barangsiapa yang mengajak/menunjukkan kepada kebaikan, maka ia berhak mendapatkan pahala sebesar pahala orang yang melakukannya.” (Muslim no. 1893)
Abu Hurairah r.a. juga meriwayatkan hadits serupa. Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang mengajak kepada kebenaran, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya, tidak berkurang dari pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, maka ia akan mendapatkan dosa sebesar dosa orang-orang yang mengikutinya, tidak berkurang dari dosa mereka sedikitpun.” (Muslim no. 2674)
8. Menjauhi perbuatan munkar
Di manapun seorang muslim berada, ia selalu punya energi untuk mencegah dirinya dan orang di sekitarnya dari melakukan perbuatan munkar. Abu Sa’id Al-Kudri mengabarkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa di antara kamu yang melihat kemunkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika tidak dapat, maka hendaknya ia mengubahnya dengan lidahnya; jika tidak dapat dengan itu, maka dengan hatinya, dan ini adalah keimanan yang paling rendah.” (Muslim no. 49)
Rasulullah saw. sangat melarang seorang muslim menjadi orang yang permisif dengan kemunkaran. ‘Ars bin Umairah Al-Kindi r.a. menyampaikan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jika suatu kesalahan/dosa diperbuat di buka bumi, maka orang yang menyaksikannya dan membencinya lalu mengingkarinya seperti orang yang tidak ada di situ –tidak mengetahuinya– dan barangsiapa yang tidak ada di sana –tidak mengetahuinya– tetapi meridhainya, ia seperti orang yang menyaksikannya.” (Abu Dawud no. 4345 dan Shahihul Jami’ no. 7020)
9. Sabar dan murah hati
Bergaul dengan sesama tentu membutuhkan kesiapan mental dan kestabilan emosional. Sebab, manusia beragam sifatnya. Sifat sabar dan murah hati adalah bekal yang harus disiapkan seorang muslim. Apalagi Allah swt. dalam surat Ali Imran ayat 134 menjadikan dua sifat ini sebagai ciri ketakwaan. “Bergegaslah menuju ampunan Tuhanmu dan surga yang seluas langit dan bumi disiapkan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang mendermakan (hartanya) di waktu senang maupun ketika menderita, dan orang-orang yang menahan marahnya serta yang memaafkan kesalahan orang lain. Dan Allah itu suka kepada orang-orang yang (suka) berbuat baik.”
Bahkan Rasulullah saw. menyebut orang yang mampu menahan marah, bersabar, dan bermurah hati sebagai jagoan. Abu Hurairah merekam sabda Rasulullah saw. ini, “Orang jagoan itu bukanlah ditentukan dengan (jagoan) gulat. Justru orang jagoan itu ialah orang yang dapat menahan dirinya ketika marah.” (Bukhari no. 6114 dan Muslim no. 2609). Subhanallah! Jika setiap manusia mampu mengamalkan sabda Rasulullah saw. ini tentu sengketa, perselisihan, konflik, perseteruan, perang, dan pertumpahan darah akan menjadi hal yang langka di muka bumi ini.
10. Pemaaf, toleran, dan tawadhu’
Bergaul dengan masyarakat tentu tak selamanya harmonis. Kadang ada geserkan karena sesuatu hal. Dan menyimpan dendam adalah ciri pribadi yang tidak sehat dalam bergaul dengan masyarakat. Allah swt. justru mengajarkan kepada kita untuk menjadi orang yang pemaaf. Bahkan, membalas keburukan dengan kebaikan. “Balaslah keburukan dengan cara yang baik.” (Al-Mu’minun: 96)
Sebab, ketika kita memberi maaf, memberi toleransi, dan tawadhu, itu semua tidak membuat kita hina. Justru terlihat mulia di sisi. Abu Hurairah r.a. merekam bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tiada berkurang harta karena sedekah, dan tiada Allah menambah seseorang karena (mau) memaafkan kecuali kemuliaan, dan tidak ada seorang hamba pun yang tawadhu’ (merendahkan diri) karena Allah kecuali Allah akan mengangkatnya.” (Muslim no. 2588)
Dari ‘Iyadh bin Khimar r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah swt. telah mewahyukan kepadaku supaya kamu saling bertawadhu’ sehingga tidak ada seorang pun yang bertindak lalim atas yang lain dan tidak ada seorang pun yang membanggakan diri atas yang lain.” (Muslim no. 2865)
Bahkan, sifat merendah menjadi ciri ahli surga. Dan sebaliknya, kasar, tidak sabaran, congkak, dan sombong adalah ciri ahli neraka. Diterima dari Haritsah bin Wahab r.a. bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Senangkah kalian jika aku beritahukan tentang ahli surga? Ia (ahli surga itu), setiap orang yang lemah dan memandang diri (sendiri) lemah, yang jika bersumpah kepada Allah pasti dikabulkan. Dan, sukakah kalian aku beritahukan tentang ahli neraka? Ia (ahli neraka itu) adalah setiap orang yang kasar, tidak sabaran, dan congkak lagi sombong.” (Bukhari no. 4918 dan Muslim no. 2853)
11. Sopan, santun, dan ramah
Suatu ketika pernah sekelompok orang Yahudi menemui Rasulullah saw. Mereka berkata, “Al-saam ‘alaika (semoga engkau dikenai racun).” Aisyah mendengar dan mengerti maksud kata-kata itu lantas membalas, “‘Alaikum al-saam wa al-la’nah (semoga racun itu untukmu disertai kutukan).” Rasulullah saw. berkata kepada Aisyah, “Jangan begitu Aisyah. Sesungguhnya Allah menyukai sifat lemah lembut dalam segala urusan.” Aisyah berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau dengar apa yang mereka katakan?” Rasulullah saw. menjawab, “Telah aku jawab, wa ‘alaikum.” (Bukhari no. 6024)
Di hadits yang sama, dalam riwayat Bukhari no. 6030 disebutkan Rasulullah saw. berkata kepada Aisyah, “Hai Aisyah, engkau mesti lemah lembut (tidak kasar), dan jauhilah olehmu sifat kasar/kejam dan keji/kotor.” Sedangkan dalam riwayat Muslim no. 2165, Rasulullah saw. berkata, “Hai Aisyah, janganlah berlaku keji/kotor.” Masih diriwayat Muslim yang lain, Rasulullah saw. berkata, “Jangan begitu, hai Aisyah. Sebab, Allah tidak menyukai perbuatan keji dan mengata-ngatai secara kotor.”
Begitulah Rasulullah saw. mengajarkan kepada kita dalam berinteraksi dengan orang lain. Bahkan, dengan orang yang jelas-jelas punya maksud buruk terhadap diri kita. Sebab, sifat lemah lembut dan santun tidak boleh hilang dari diri kita. Dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya sifat lemah lembut itu tidak ada pada sesuatu kecuali menghiasinya dan tidak tercabut dari sesuatu barang kecuali menjadi kotor/jeleklah barang itu.” (Muslim no. 2594)
Dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut dan menyukai kelembutan, dan Dia memberi (kepada seseorang) karena kelembutan(nya) apa yang tidak diberikan-Nya (kepada seseorang) karena kekejaman(nya) dan apa yang tidak diberikan-Nya kepada orang yang mempunyai sifat selain sifat kejam.” (Muslim no. 2593)
Karena itu, Rasulullah saw. tidak ingin seorang muslim menjadi pengutuk. Abu Hurairah r.a. menyampaikan kepada kita bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah pantas bagi shiddiq, mukmin yang bagus imannya, untuk menjadi pengutuk.” (Muslim 2597)
Dari Abdullah bin Mas’ud r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Mukmin itu bukanlah pencemar nama baik orang, bukan pengutuk, dan bukan pelaku perbuatan keji, serta bukan yang buruk tutur katanya.” (Turmudzi no. 1977 dan Silsilah Shahihah no. 320)
Dari Abu Darda r.a. bahwa Rasululllah saw. bersabda, “Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan amal seorang mukmin pada hari kiamat daripada akhlak yang bagus (mulia). Dan sesungguhnya Allah itu membenci orang yang suka melakukan perbuatan keji dan buruk tutur katanya.” (Abu Dawud no. 4799, Turmudzi no. 2002, Silsilah Shahihah no. 876, dan Shahihul Jami no. 5597)
Karena itu, Rasulullah saw. melarang seorang muslim mencela muslim yang lain. Dari Abdullah bin Mas’ud r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Mencela muslim itu perbuatan durhaka (fusuuq) dan membunuh muslim adalah suatu kekufuran.” (Bukhari no. 48 dan 6044, Muslim no. 64 dan 116)
12. Bertutur kata yang baik
Dari diri kita yang paling harus dijaga dalam bergaul dengan masyarakat adalah lidah kita. Tidak sedikit orang celaka karena tidak mampu mengontrol perkataannya.
Mu’adz bin Jabal r.a. diajarkan langsung tentang hal itu oleh Rasulullah saw. “Senangkah kamu jika aku beritahukan apa yang menguasai (mencukupi) itu semua?” Mu’adz menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah saw.” Rasulullah saw. bersabda, “Tahanlah olehmu ini!” Rasulullah saw. menunjuk lidahnya. Mu’adz berkata, “Wahai Nabiyullah, apakah kita akan dituntut dengan apa yang kita ucapkan?” Rasulullah saw. menjawab, “Celakalah kamu, wahai Mu’adz, bukankah manusia dapat tersungkur ke dalam neraka hanya karena kata-kata yang keluar dari lidahnya?”
Karena itu, menjaga lidah bukan hanya selamat diri dari kemarahan orang yang mendengar, tetapi juga selamat dari siksa neraka. Sahal bin Sa’ad Al-Sa’idi r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang menjamin (memelihara) untukku apa yang ada di antara kedua kakinya dan apa yang ada di antara kedua janggutnya (lidahnya), aku menjamin baginya (masuk) surga.” (Bukhari no. 6474 dan 6807)
Uqbah bin ‘Amir r.a. berkata, “Wahai Rasulullah, di manakah tempat keselamatan itu?” Rasulullah menjawab, “Tahanlah lidahmu, rumahmu meski mencukupimu dan menangislah atas segala kesalahanmu.” (Turmudzi no. 2406 dan Silsilah Shahihah no. 890)
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia mengucapkan kata-kata yang baik atau diam.” (Bukhari no. 5185 dan Muslim no. 47)
13. Berkhitmat kepada kaum muslimin
Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara.” (Al-Hujurat: 10). Karena dekatnya hubungan satu muslim dengan muslim yang lain sebagai saudara, jika ada yang sakit maka semua merasa sakit.
Anas bin Malik r.a. berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Tidak sempurna iman seseorang di antaramu kecuali jika ia mencintai saudaranya sebagaimana yang ia cintai untuk dirinya.” (Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45)
Dari Nu’man bin Basyir r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan saling membantu itu bagaikan satu jasad. Jika ada di antaranya yang merasa sakit, maka semua unsur jasad ikut tidak tidur dan merasa demam.” (Bukhari no. 6011 dan Muslim no. 2586)
Karena itu, tak heran jika Rasulullah saw. mengancam seorang muslim yang tidak peduli dengan saudara muslimnya. Dari Hudzaifah Bin Yaman r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang tidak ihtimam (peduli) terhadap urusan umat Islam, maka bukan golongan mereka.” (HR At-Tabrani)
Anas bin Malik pernah menemani Jarir bin Abdullah Al-Bajali dalam sebuah perjalanan. Jarir berkhitmat kepada Anas, padahal usianya lebih tua daripada Anas. Ini membuat anak tak enak. “Jangan engkau lakukan itu,” Jarir menjawab, “Aku telah melihat orang-orang Anshar memuliakan Rasulullah saw. dan mereka melakukan sesuatu kepadanya, aku bertekad untuk tidak bertemu dengan salah seorang di antara mereka (kaum Anshar) kecuali aku memuliakannya dan berkhidmat kepadanya karena keutamaan/kemuliaan seperti itu.” (Bukhari no. 2888 dan Muslim no. 2513)
Sungguh mulia Jarir dan sungguh mulia kita jika bisa saling berkhitmat dengan sesama.
14. Suka menolong
Allah swt. berfirman, “Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan; dan janganlah kamu saling menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan.” (Al-Ma’idah: 2)
Anas bin Malik r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tolonglah saudaramu, baik ia sebagai penganiaya maupun sebagai yang teraniaya.” Ada yang berkata, “Wahai Rasulullah, aku dapat menolongnya jika teraniaya. Lalu, bagaimana caranya menolong yang menganiaya?” Rasulullah saw. menjawab, “Engkau harus menghalanginya dari perbuatan zalimnya. Itulah cara meolongnya.” (Bukhari no. 2443)
Dari Abu Darda r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang membela harga diri (martabat) saudaranya, maka Allah akan menolak dari wajahnya api neraka pada hari kiamat.” (Turmudzi no. 1931 dan Ahmad no. 449)
15. Memiliki sifat sayang
Dari Jarir bin Abdullah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Allah tidak menyayangi orang yang tidak menyayangi orang lain.” Dalam riwayat lain, “Barangsiapa yang tidak sayang kepada manuasi, maka ia tidak disayangi Allah.” (Bukhari no. 6013 dan Muslim no. 2319)
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Ash r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Para penyayang akan disayangi Allah Yang Maha Penyayang. Sayangilah yang ada di muka bumi, kamu pasti disayangi yang di langit.” (Abu Dawud no. 4941, Turmudzi no. 1924, Silsilah Shahihah no. 925)
Dari Anas bin Malik r.a. dan Abdullah bin Abbas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Bukanlah dari kelompok kami orang yang tidak sayang kepada yang kecil dan tidak hormat pada yang lebih besar (tua).” (Turmudzi no. 1919)
16. Punya rasa malu dan mengendalikan pandangan
Malu adalah ciri khas seorang muslim. Karena itu Rasulullah saw. membela seseorang yang punya rasa malu dari celaan orang lain. Dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah saw. pernah melewati seseorang yang mencela saudaranya karena rasa malunya dengan mengatakan, “Kamu ini terlalu pemalu,” sehingga dikatakan, “Sungguh kamu celaka.” Maka Rasulullah saw. pun bersabda, “Biarkanlah ia, sebab malu itu bagian dari iman.” (Bukhari no. 24 dan Muslim no. 36)
Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Iman itu enam puluh sekian cabang, dan malu sebagai satu cabang dari keimanan itu.” (Bukhari no. 9 dan Muslim no. 350)
Sedangkan tentang mengendalikan pandangan, Allah swt. berfirman, “Katakanlah kepada kaum mukminin: hendahnya mereka mengendalikan pandangannya dan memelihara kemaluannya. Itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada kaum mukminat, hendaknya mereka mengendalikan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (An-Nur: 31)
17. Tidak suka menjilat
Seorang muslim hendaknya menjauhi kebiasaan menjilat dan memuji secara berlebihan. Sebab, hal itu dilarang oleh Rasulullah saw. Dari Abu Musa Al’Asy’ari r.a. bahwa Rasulullah saw. penah mendengar seseorang menyanjung seseorang seya memujinya secara berlebihan, lalu beliau bersabda, “Kamu yang memutuskan punggungnya.” (Bukhari no. 2663 dan Muslim no. 3001)
Bahkan kita diajarkan Rasulullah saw. untuk menaburkan tanah ke wajah orang yang berusaha menjilat. Pernah seseorang memuji-muji Usman. Miqdad kemdian maju dan berlutut pada kedua lutut orang itu, lalu menumpahkan kerikil ke wajahnya. Usman berkata, “Apa yang kamu lakukan itu?” Miqdad menjawab, “Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah bersabda, ‘Jika kamu melihat orang-orang yang suka memuji-muji (menjilat), maka tumpahkanlah tanah pada wajahnnya.” (Muslim no.3002)
18. Jangan jadi beban masyarakat
‘Auf bin Malik Al-Asyja’i berkata, kami sembilan atau delapan atau bertujuh orang pernah berada di sisi Rasulullah saw. Beliau bersabda, “Mengapakah kalian tidak berbai’at kepada Rasulullah?” Sebetulnya kami baru (beberapa hari) saja melakukan bai’at. Beliau bersabda lagi, “Mengapa kalian tidak membai’at Rasulullah?” Kami membentangkan tangan-tangan kami dan berkata, “Kami telah berbai’at kepada engkau, wahai Rasulullah, lalu atas dasar apa lagi kami mesti membai’atmu?” Rasulullah saw. bersabda, “Kamu mesti berbai’at supaya tidak menyembah selain Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, melakukan shalat lima waktu, dan untuk mau mendengar dan mentaati.” Lalu beliau bersabda, “Janganlah kamu meminta sedikitpun kepada manusia.” Maka aku betul-betul melihat sebagian di antara mereka -sembilan atau delapan atau tujuh orang yang berbai’at itu-ketika terjatuh cemeti salah seorang di antara mereka, ternyata ia tidak meminta kepada seseorang pun untuk mengembalikan untuknya.” (Muslim no. 1043)
Begitulah ajaran Rasulullah saw. agar kita bersikap ghina ‘anin-naas (merasa cukup dari manusia) dan hanya meminta kepada Allah swt.
19. Sabar menghadapi kesulitan hidup
Adalah tabiat hidup di dunia penuh dengan kesulitan hidup: ada kesedihan, ada penyakit, dan ada penderitaan. Kesemuanya itu membutuhkan kesabaran. Sebab, segala kesulitan hidup memang diciptakan Allah swt. untuk mengingatkan akan fananya dunia ini dan menumbuhkan rasa rindu dalam hati seorang mukmin akan kampung akhirat yang kekal dan penuh kenikmatan.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri r.a. dan Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tiada menimpa kepada mukmin, baik berupa penyakit atau kelelahan, atau berupa penyakit atau kesedihan bahkan kegundahan yang memusingkannya kecuali Allah akan menghapuskan dengan itu segala dosanya.” (Bukhari no. 5641 dan Muslim no. 2573)
Dari Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh ajaib urusan orang mukmin itu, sesungguhnya segala urusannya baik baginya. Dan itu tidak ada kecuali bagi mukmin. Jika ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur, dan itu menjadi kebaikan baginya. Dan jika ia ditimpa musibah/bencana, ia bersabar dan itu menjadi kebaikan baginya.” (Muslim no. 2999)
20. Punya ukuran tentang baik dan buruk
Begitu banyak peristiwa dan masalah yang timbul akibat interaksi kita dengan masyarakat. Dan bisa jadi semua itu tidak membuat nyaman hati kita. Apalagi bila menyangkut halal-haram, baik-buruk, boleh-tidak boleh, patut-tidak patut. Karena itu, kita harus punya ukuran yang menjadi standar dalam memilah semua peristiwa dan masalah yang ditimbulkan akibat interaksi kita dengan orang lain. Ukuran itu adalah syari’at.
Nu’man bin Basyir r.a. berkata, aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara yang halan dan haram itu ada hal-hal yang musytabihat yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Tetapi, barangsiapa yang menjauhi yang musytabihat, ia telah membebaskan agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjerumus ke dalam musytabihat, pasti terjerumus ke dalam yang haram. Hal itu bagaikan penggembala yang menggembala di sekitar kebun dikhawatirkan gembalaannya itu masuk ke dalamnya. Ingatlah, sesungguhnya bagi setiap raja itu ada kebun larangannya, dan sesungguhnya kebun larangan Allah itu segala yang diharamkan-Nya.” (Bukhari no. 52 dan Muslim 1599)
Nawas bin Sam’an r.a. berkata, aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang kebaikan dan dosa. Rasulullah saw. menjawab, “Al-Birr (kebaikan) itu adalah akhlak yang mulia; sedangkan dosa ialah apa yang berdetik -disertai dengan keraguan-dalam dadamu dan engkau tidak suka jika orang lain mengetahuinya. (Muslim no. 2553)
Begitulah 20 rambu bagi kita dalam hidup bermasyarakat. Jika kita amalkan, kita akan menjadi orang yang diharapkan kehadirannya di tengah masyarakat. Ketika kita pergi, orang-orang di sekitar kita menangisi kepergian kita.